Beberapa waktu lalu, saya memenuhi undangan peletakan batu pertama salah satu sekolah yang berlokasi di sekitar Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang Selatan. Seorang pakar manajemen, Bapak Rhenald Kasali, menyampaikan bahwa masa depan adalah sesuatu yang kita ciptakan secara bersama - sama. Anak – anak berkembang menjadi sesuatu yang diinginkan karena berbagai faktor, baik biologis (nature) maupun lingkungan (nurture), yang berkolaborasi untuk mengantarkan mereka menjadi seseorang.
Selain Pak Rhenald Kasali, hadir dalam acara tersebut adalah tokoh yang sangat peduli pada anak – anak, Kak Seto. Beliau memaparkan betapa setiap anak memiliki kecerdasan masing – masing yang bersifat unik. Kecerdasan setidaknya memiliki 8 (delapan) faset, yaitu: cerdas angka (numerik), cerdas kata (bahasa), cerdas gambar (spasial), cerdas musik, cerdas tubuh (kinestetik), cerdas teman (interpersonal), cerdas diri (intrapersonal), dan cerdas alam (natural). Masing – masing individu memiliki kecenderungannya sendiri yang mengarah pada satu dari 8 (delapan) jenis kecerdasan tersebut.
Mendengar pembicaraan kedua pakar ini, pikiran saya melayang ke masa kecil saya sendiri saat saya masih menjadi seorang anak. Ada sedikit rasa geli saat saya menuliskan ini karena sampai saat ini pun, saat saya telah memiliki dua orang anak, kedua orangtua saya masih tetap memperlakukan saya bak seorang anak.
Dulu, saya pernah pernah bertanya – tanya dalam hati mengapa bapak dan ibu sering mengarahkan saya untuk menjadi sesuatu. Sementara saya memiliki keinginan sendiri yang kadang tidak sesuai dengan keinginan yang mereka titipkan kepada saya. Saat remaja, pertentangan antara keinginan saya dan kedua orangtua saya kadang menimbulkan friksi. Namun Alhamdulillah, masa – masa tersebut justru menjadikan saya bertambah dewasa.
Jawaban dari pertanyaan saya tentang keinginan orangtua baru saya dapatkan setelah saya menikah dan menjadi ibu bagi kedua anak saya, Ghifari dan Ghefira. Naluri saya mendorong untuk melindungi mereka dan berusaha agar anak – anak tidak merasakan hal – hal yang kurang menyenangkan yang pernah saya alami sebelumnya. Oleh karena itu, saya mengarahkan mereka agar mengikuti “keinginan” saya.
Namun kembali saya tersadar bahwa sebagai anak, dahulu saya juga punya mimpi, harapan, dan cita – cita sendiri. Begitu juga dengan Kakang Ghifari, Ghefira, dan anak – anak lainnya. Mereka memiliki mimpi, harapan, dan cita – cita mereka sendiri yang sesuai dengan bakat, kemampuan, dan kecerdasan yang dimiliki dan diberikan oleh Allah SWT. Sebagai orangtua, saya hanya bisa mengarahkan, menjaga, dan memberikan kasih sayang sekaligus doa untuk anak – anak saya. Semoga mereka menjadi anak yang pintar, baik, cerdas, sholeh, dan sholehah, panjang umur, sehat badannya, berguna bagi agama, keluarga, nusa dan bangsa, tercapai cita – citanya, selalu ada dalam lindunganNya dan meraih serta mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Kewajiban saya sebagai orangtua adalah memberikan perawatan dan pengasuhan yang terbaik untuk anak – anak. Kewajiban saya sebagai warga adalah memberikan lingkungan yang ramah bagi anak – anak. Saya membayangkan setiap rumah adalah tempat belajar dan bermain yang kondusif untuk anak – anak. Lebih jauh, saya menginginkan sebuah lingkungan dimana anak – anak dapat menyalurkan energi dan potensinya serta berkembang menjadi orang – orang yang kreatif, optimis, dan produktif.
Pendidikan adalah cara untuk menemukan potensi yang dimiliki oleh masing – masing anak agar mereka menemukan kecerdasan mereka sendiri seperti yang dipaparkan Kak Seto. Pendidikan juga merupakan sarana pengembangan yang memungkinkan berbagai faktor pendorong dan penarik bekerja untuk mengarahkan anak kepada sukses, seperti yang dinyatakan oleh Pak Rhenald Kasali.
Pendidikan, baik di rumah maupun di tingkat lingkungan, adalah hak dasar yang harus diberikan kepada setiap anak. Di rumah, hak ini harus diberikan oleh orangtua. Di tingkat lingkungan, hak ini harus dipenuhi dan disediakan oleh pemerintah dalam bentuk penyediaan fasilitas dan sistem untuk menjamin ketersediaan dan keberlangsungan pembelajaran. Setiap anak harus memiliki akses agar dapat bersekolah dan mencapai impian, harapan, dan cita – cita mereka. Setiap orangtua berhak untuk menitipkan harapan dan mendapatkan kesempatan memberikan kehidupan yang lebih baik bagi anak – anak mereka. Dengan demikian, mimpi, harapan, dan cita – cita yang telah merekah dari masing – masing rumah, dari masing – masing keluarga, dapat tumbuh dan berkembang menjadi nyata untuk kemudian dapat dibagi dengan sesama.
Tangsel, 03 Agustus 2010